BELIMBINGWENING.COM – Penjelasan tentang amal, ahwal dan warid dalam kitab Al-Hikam karya Syekh Ibnu Atha’illah As-Sakandari. Maqolah pasal 9 membahas tentang Amal, Ahwal dan Warid; ahwal akan menentukan a’maal.
Al-Hikam Pasal 9:
Amal, Ahwal dan Warid
تنوَّعت اجْناَسُ الاَعمالِ لتنوُّعِ وارِداَتِ الاحْوالِ
“Beraneka macam jenis amal perbuatan, karena bermacam-macam pula pemberian karunia Allah yang diberikan kepada hamba-Nya.”
Oleh karena setiap orang salih yang menuju suatu maqom(tingkat) harus mengerti dalam ibadah yang mana ia rasakan nikmat ibadah. Maka disitulah akan terbuka baginya, apakah dalam salat, puasa atau ibadah lainnya.
Warid adalah terminologi suluk yang banyak ditemukan dalam kitab Al-Hikam. Makna sederhana warid adalah karunia Allah Swt yang turun kepada seorang hamba. Proses turunnya warid terkait dengan kesiapan qalb (hati), dalam hal ini adalah kadar ahwal si hamba. Sebagai contoh, dalam Al-Quran Allah Swt berfirman:
وَمَا يُلَقَّىٰهَآ إِلَّا ٱلَّذِينَ صَبَرُوا۟ وَمَا يُلَقَّىٰهَآ إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
“Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan (al-hasanah) melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fussilat: 35)
Ayat di atas, sabar adalah ahwal si hamba, dan al-hasanah yang dianugerahkan waris yang Allah Swt karuniakan.
Namun dalam pasal ini Ibnu Atha’illah tidak hanya berbicara tentang ahwal dan warid. Bahwa warid yang diterima seorang hamba terkait dengan amal hamba. Amal yang dimaksud adalah berupa amal yang khusus yakni amal yang terkait dengan misi hidup atau tujuan seseorang.
Dalam pandangan taSawuf, Hal diartikan sebagai pengalaman rohani dalam proses mencapai hakikat dan makrifat. Hal merupakan zauk atau rasa yang berkaitan dengan hakikat ketuhanan yang melahirkan makrifatullah (pengenalan tentang Allah). Tanpa Hal tidak ada hakikat dan tidak diperoleh makrifat. Ahli ilmu membina makrifat melalui dalil ilmiah tetapi ahli taSawuf bermakrifat melalui pengalaman tentang hakikat.
Sebelum memperoleh pengalaman hakikat, ahli kerohanian terlebih dahulu memperoleh kasyaf yaitu terbuka keghoiban kepadanya. Ada orang mencari kasyaf yang dapat melihat makhluk ghaib seperti jin.
Dalam proses mencapai hakikat ketuhanan kasyaf yang demikian tidak penting. Kasyaf yang penting adalah yang dapat mengenali tipu daya syaitan yang bersembunyi dalam berbagai bentuk dan suasana dunia ini.
Rasulullah Saw sendiri sebagai ahli kasyaf yang paling unggul hanya melihat Jibrail as dalam rupanya yang asli dua kali saja. Walaupun pada setiap kali Jibrail as menemui Rasulullah Saw. dengan rupa yang berbeda-beda, Rasulullah tetap mengenalinya sebagai Jibrail as.
Bila seseorang ahli kerohanian memperoleh kasyaf maka dia telah bersedia untuk menerima kedatangan Hal atau zauk yaitu pengalaman kerohanian tentang hakikat ketuhanan. Hal tidak mungkin diperoleh dengan beramal dan menuntut ilmu. Sebelum ini pernah dinyatakan bahwa tidak ada jalan untuk masuk ke dalam gerbang makrifat.
Seseorang hanya mampu beramal dan menuntut ilmu untuk sampai pintu gerbangnya. Apabila sampai di situ seseorang hanya menanti karunia Allah Swt, semata-mata karunia Allah Swt yang membawa makrifat kepada hamba-hamba-Nya. karunia Allah Swt yang mengandung makrifat itu dinamakan Hal.
Ada orang yang memperoleh Hal sekali saja dan dikuasai oleh Hal dalam waktu yang tertentu saja dan ada juga yang terus-menerus di dalam Hal. Hal yang terus-menerus atau berkekalan dinamakan wishol yaitu penyerapan Hal secara terus-menerus, kekal atau baqo’.
Orang yang mencapai wishol akan terus hidup dengan cara Hal yang terjadi. Hal-hal (ahwal) dan wishol bisa dibagi menjadi lima macam:
- Abid
Abid adalah orang yang dikuasai oleh Hal atau zauk yang membuat dia merasakan dengan sangat bhawa dirinya hanyalah seorang hamba yang tidak memiliki apa-apa dan tidak mempunyai daya dan upaya untuk melakukan sesuatu.
Kekuatan, usaha, bakat-bakat dan apa saja yang ada dengannya adalah daya dan upaya yang dari Allah. Semuanya itu adalah karunia Allah Swt semata-mata. Allah Swt sebagai Pemilik yang sebenarnya, apabila Dia memberi, maka Dia berhak mengambil kembali pada masa yang Dia kehendaki.
Seorang abid benar-benar bersandar kepada Allah Swt sekiranya dia melepaskan sandaran itu dia akan jatuh, karena dia benar-benar melihat dirinya kehilangan apa yang datangnya dari Allah Swt
- Asyikin
Asyikin ialah orang yang memandang sifat Keindahan Allah Swt. Rupa, bentuk, warna dan ukuran tidak menjadi soal kepadanya karena apa saja yang dilihatnya menjadi cermin yang dia melihat Keindahan serta Keelokan Allah Swt di dalamnya.
Amal atau kelakuan asyikin ialah gemar merenungi alam dan memuji Keindahan Allah Swt pada apa yang disaksikannya. Dia boleh duduk menikmati keindahan alam beberapa jam tanpa merasa jemu. Kilauan ombak dan rintikan hujan memukau pandangan hatinya.
Semua yang kelihatan adalah warna Keindahan dan Keelokan Allah Swt. Orang yang menjadi asyikin tidak memperdulikan lagi adab dan peraturan masyarakat. Kesadarannya bukan lagi pada alam ini. Dia mempunyai alamnya sendiri yang di dalamnya hanyalah Keindahan Allah Swt.
- Muttakholiq
Muttakholiq adalah orang yang mencapai yang Haq dan bertukar sifatnya. Hatinya dikuasai oleh suasana Qurbi Faroidh atau Qurbi Nawafil. Dalam Qurbi Faroidh, muttakholiq merasakan dirinya adalah alat dan Allah Swt menjadi Pengguna alat.
Dia melihat perbuatan atau kelakuan dirinya terjadi tanpa dia merancang dan campur tangan, bahkan dia tidak mampu mengubah apa yang akan terjadi pada kelakuan dan perbuatannya. Dia menjadi orang yang berpisah daripada dirinya sendiri.
Dia melihat dirinya melakukan sesuatu perbuatan seperti dia melihat orang lain yang melakukannya, yang dia tidak berdaya mengawal atau mempengaruhinya. Hal Qurbi Faraidh adalah dia melihat bahawa Allah s.w.t melakukan apa yang Dia kehendaki.
Perbuatan dia sendiri adalah gerakan Allah Swt, dan diamnya juga adalah gerakan Allah s.w.t. Orang ini tidak mempunyai kehendak sendiri, tidak ada ikhtiar dan tadbir. Apa yang mengenai dirinya, seperti perkataan dan perbuatan, berlaku secara spontan.
Kelakuan atau amal Qurbi Faroidh ialah bercampur-campur di antara logika dengan tidak logika, mengikut adat dengan merombak adat, kelakuan alim dengan jahil.
Dalam banyak perkara penjelasan yang boleh diberikannya ialah, “Tidak tahu! Allah Swt berbuat apa yang Dia kehendaki”.
Dalam suasana Qurbi Nawafil pula muttakholiq melihat dengan mata hatinya sifat-sifat Allah Swt dan dia menjadi pelaku atau pengguna sifat-sifat tersebut, yaitu dia menjadi khalifah dirinya sendiri.
Hal Qurbi Nawafil ialah berbuat dengan izin Allah Swt kerana Allah Swt memberikan kepadanya untuk berbuat sesuatu.
Contoh Qurbi Nawafil adalah kelakuan Nabi Isa yang membentuk rupa burung dari tanah liat lalu menyuruh burung itu terbang dengan izin Allah Swt. Juga kelakuan beliau menyeru orang mati supaya bangkit dari kuburnya.
Nabi Isa melihat sifat-sifat Allah Swt yang diizinkan menjadi kemampuan beliau, sebab itu beliau tidak ragu-ragu untuk menggunakan kemampuan tersebut menjadikan burung dan menghidupkan orang mati dengan izin Allah Swt
- Muwahhid
Muwahhid fana’ dalam dzat, dzatnya lenyap dan Dzat Mutlak yang menguasainya. bagi muwahhid ialah dirinya tidak ada, yang ada hanya Allah Swt Orang ini telah putus hubungannya dengan kesedaran basyariah dan sekalian maujud.
Kelakuan atau amalnya tidak lagi seperti manusia biasa karena dia telah terlepas dari sifat-sifat kemanusiaan dan kemakhlukan. Misalkan dia bernama Abdullah, dan jika ditanya kepadanya di manakah Abdullah, maka dia akan menjawab Abdullah tidak ada, yang ada hanyalah Allah! Dia benar-benar telah lenyap dari ke‘Abdullah-an’ dan benar-benar dikuasai oleh ke‘Allah-an’.
Ketika dia dikuasai oleh hal dia terlepas daripada beban hukum syarak. Dia telah fana dari ‘aku’ dirinya dan dikuasai oleh kewujudan ‘Aku Hakiki’. Walau bagaimana pun sikap dan kelakuannya dia tetap dalam ridho Allah Swt.
Apabila dia tidak dikuasai oleh hal, kesedarannya kembali dan dia menjadi ahli syariat yang taat. Perlu diketahui bahawa hal tidak boleh dibuat-buat dan orang yang dikuasai oleh hal tidak berupaya menahannya.
Orang-orang sufi bersepakat mengatakan bahawa siapa yang mengatakan, “Ana al-Haq!” sedangkan dia masih sadar tentang dirinya maka orang tersebut adalah sesat dan kufur!
- Mutahaqqiq
Mutahaqqiq ialah orang yang setelah fana dalam dzat turun kembali kepada kesedaran sifat, seperti yang terjadi kepada nabi-nabi dan wali-wali demi melaksanakan amanat sebagai khalifah Allah di muka bumi dan kehidupan dunia yang wajib diurusi.
Dalam kesadaran dzat seseorang tidak keluar dari khalwatnya dengan Allah s.w.t dan tidak peduli tentang keruntuhan rumah tangga dan kehancuran dunia seluruhnya. Sebab itu orang yang demikian tidak boleh dijadikan pemimpin.
Dia mesti turun kepada kesedaran sifat barulah dia boleh memimpin orang lain. Orang yang telah mengalami kefanaan dalam zat kemudian disadarkan dalam sifat adalah benar-benar pemimpin yang dilantik oleh Allah Swt menjadi Khalifah-Nya untuk memakmurkan makhluk Allah Swt dan memimpin umat manusia menuju jalan yang diridhoi Allah Swt.
Orang inilah yang menjadi ahli makrifat yang sejati, ahli hakikat yang sejati, ahli tarekat yang sejati dan ahli syariat yang sejati, berkumpul padanya dalam satu kesatuan yang menjadikannya Insan Rabbani.
Insan Robbani peringkat tertinggi ialah para nabi-nabi dan Allah Swt karuniakan kepada mereka maksum, sementara yang tidak menjadi nabi dilantik sebagai wali-Nya yang diberi perlindungan dan pemeliharaan.