SEKARANG stick panjang, nanti stick pendek, bagaimana?”
“Ya, nanti saya bawakan sticknya, sampai bolanya masuk…”
Pembicaraan penuh bisik-bisik dan tawa kikik itu tertiup semilir angin, di kehijauan bagai karpet tergelar menyabana. Mereka adalah seorang eksekutif yang tak lagi muda, dan seorang cady girl yang memang musti muda dan macan..manis cantik.
Pembicaraan yang di telinga kanak-kanak, termasuk pembaca remaja kolom ini, mungkin tak ada maksud apa-apa kecuali memang perkara stick dan bola dalam olahraga terbaru bernama golf.
Inilah memang permainan warisan orde baru, sekaligus warisan hobi sang despot jendral besar presiden yang berkuasa tigapuluh tahun di negeri yang hingga kini terus sibuk membangun.
Perupa Dadang Christanto pernah memamerkan karya di dinding satu galeri, sorang presiden mengayun stick dan bolanya terlempar di atas gambar negeri kepulauan.
Di era Orba pameran bersama itu ditutup oleh pihak keamanan, dan perupanya dikabarkan dikejar-kejar bersama seniman buron lainnya seperti penyair Wiji Thukul. Giliran reformasi yang tampaknya mau melawan Orba, konon Dadang tetap dikejar-kejar dan tertangkaplah dia. Kali ini bukan oleh intel, melainkan pemilik galeri yang memintanya untuk memamerkan kembali karyanya.
Saat itu Dadang menolak dengan tertawa sambil mengatakan, bahwa karyanya terlalu bisu dibanding massa yang sudah berteriak-teriak dan menchaos di luar sana.
Nyatanya karya Dadang itu gambaran kongkrit seorang pemain golf, yang hingga kini bergaya bagai jendral besar sedang berolahraga. Tidak di era orba tak di reformasi, seorang “jendral kancil” sekali pun bermimpi saat mengayunkan stick, sampai ke mana bola melayang.
Mungkin dia baru pulang piknik dari luar negeri, membayangkan bola itu jatuh di satu kawasan dan merubahnya jadi gedung-gedung pencakar langit sebagaimana metropolitan-megapolitan kota-kota dunia. Atau membayangkan bola itu berapi dan membakar pasar tradisional, dan membangunnya menjadi supermarket, department store, plaza atau mall.
Atau membayangkan bola itu bisa menggusur sebuah perkampungan kumuh, dan merubahnya menjadi real estate.
Mendengar cerita tentang bola yang melayang, seorang pegiat kehidupan desa di kawasan Gunungpati Semarang mengaku bahwa dirinya terkena bola. Bola itu melenting-lenting di setiap kepala petani atau peladang, yang tiba-tiba seperti terbangun dari mimpi melihat kenyataan tanah yang bukan lagi milik mereka.
Mereka termangu menyadari hektaran tanah mereka telah menjadi milik orang kota dengan nama-nama besar yang hampir-hampir tak kuasa mereka sebut nama-namanya. Tak lain karena nama-nama itu masih berkuasa di pemerintahan kota, propinsi, atau bahkan di Jakarta.
Dan tidak hanya di Semarang cerita tentang bola itu terjadi, bisa dipastikan juga berlangsung di setiap desa di negeri pertanian yang berubah menjadi industri.
Seorang penggerak masyarakat desa lain bahkan mengeluhkan, tentang urbanisasi yang berlangsung sejak puluhan tahun. Masyarakat desa, terutama dari generasi muda, lebih terpanggil untuk mencari kerja di kota-kota besar. Mereka kebanyakan menjadi buruh pabrik, atau bekerja apa saja, dan yang paling memprihatinkan mereka yang bersedia menjual diri.
Mereka memang kebanyakan para wanitanya, dan para lelaki menjual tanah warisan untuk membeli sepedamotor sebagai tukang ojek sambil antar-jemput si isteri yang bekerja sebagai buruh atau “apa saja”. Dampak dari gaya hidup baru yang ditawarkan kehidupan modern, membuat malas menjadi petani, dan tak tertarik lagi pada prinsip gotong-royong demi kehidupan desa.
Pilihan bekerja “apa saja” menjadi kemungkinan mereka bisa meraih gaya hidup baru itu, meskipun itu jalan pintas yang merubah segalanya. Bagi mereka yang penting bisa mencecap kehidupan kota, dan meninggalkan kehidupan desa yang mulai dianggap ketinggalan jaman. Terutama mereka yang bekerja di tempat lebih bergengsi, di mall, hotel berbintang, atau di tempat-tempat hiburan.
Meski pun pekerjaan “apa saja” tetap menjadi pilihan mereka, dan tidak bisa meraih kemungkinan lain kecuali ditentukan. Sebagaimana mereka yang bekerja sebagai cady girl, “nasib” mereka ditentukan oleh gaya pegolfnya. Di era Orba mungkin mereka hanya menjadi pembawa stick, dan masih bertanya-tanya atas pembicaraan yang berlangsung.
Sejak rezim yang bekuasa selama tigapuluh tahun, golf memang menjadi ruang paling ideal untuk melakukan negosiasi bisnis bertaraf internasional. Padang golf adalah pintu lebar untuk masuknya para investor asing, dengan rekayasa teori para menteri yang membisikkan hasil pendidikan mereka di Amerika.
Dan sang jendral besar memafumi untuk mempraktekkannya di dalam negeri, tak berpikir panjang apakah teori-teori itu pas dipraktekkan di negeri yang mau bergalak-galak dalam pembangunan. Dari teori pintu terbuka, pasar bebas sampai ekonomi global, dengan praktek global sortsing, licensing, franchising, joint venture, holly owner subsidiaries. Ingat jurus yang kita punya, negeri ini dikenal sebagai bangsa yang ramahtamah.
Untuk itu kesenian pun harus yang ramahtamah, musti menunjukkan fenomena seni tradisional maupun modern. Seni tradisional yang selalu disebut adhiluhung karena warisan wong agung di jaman penjajahan Belanda, atau seni modern importan yang oleh karenanya sering dikatakan adhilinglung.
Pendek kata kesenian yang bisa dijual, dengan prinsip ekonomi “semua bisa dijual, semua bisa dibeli”, terlepas dari apakah itu paham kapitalisme atau neo-liberalisme. Bagi kesenian yang lebih berbicara, terlepas apakah itu realisme-sosialis atau kontekstual-struktural, tidak ada ruang untuk bangsa yang penuh senyuman. Di era Orba seniman-seniman yang mengekspresikan kritik, dihadapkan pada pelarangan atau dijebloskan ke dalam penjara.
Di era reformasi meski non fisik, lebih kejam lagi “dibunuh” dengan jargon post modern: realisme telah mampus! Gantinya karya seni yang tampaknya mau menunjukkan kreativitas dunia manusia modern tapi salah kaprah. Kreativitas dalam konteks ini bukan sebagaimana misalnya yang dirativikasi oleh Ignas Kleden, sebagai kreativitas konseptual (ilmu, seni, filsafat) dan kreativitas sosial (politik).
Akan tetapi kreativitas yang diartikan lain dari yang lain, cerdas atau bodoh yang penting tampak baru, kalau perlu gila-gilaan sekalian. Suatu keterlanjuran atas keterpengaruhan aliran-aliran terbaru kesenian modern yang berpaham absurdisme, pop, dadaisme. Di sini kreativitas kehilangan substansinya, dan terpuruk menjadi sekadar eksentriksitas.
Itulah penandaan, betapa di era ini bola golf yang melayang lebih tak terelakkan lagi sebagai bola kekuasaan menggila. Bola itu mungkin melayang dan jatuh dari gunung ke gunung, dan gunung-gunung itu bisa dibeli dengan dalih revitalisasi alam sedunia. Melayang dan jatuh ke hutan, dan silakan penjarahan berlangsung, atau penambangan asing merusak ekosistem.
Melayang dan jatuh ke pulau, dan pulau itu bisa dijual dengan kedok konflik atau perebutan dengan negara lain. Seperti cerita fiktif memang, tapi antara fiktif dan non fiktif di era modern bahkan post modern memang tak lagi bisa dibedakan. Bahkan seringkali lebih mencekamkan, dibanding novel termisteri dan paling kontektual yang proses kreativitasnya melayang-layang.
Kisah yang paling mengerikan ialah bola yang melayang ke Situbondo, yang merubah empat kecamatan menjadi lautan lumpur panas. Empat kecamatan, sekian desa, ratusan RW/RT, dan jutaan warga yang kehilangan segalanya. Tidak hanya tanah, aset pemerintah, hak sipil, rumah, hartabenda, mahligai bagai istana kebahagiaan, tapi juga harga diri dan kehormatan.
Seseorang yang tiba-tiba merusak pagar rumah akan diseret ke kantor polisi, atau babakbelur dihajar massa. Akan tetapi ini empat kecamatan jadi genangan lumpur panas, tapi yang bertanggungjawab atasnya masih melenggang bebas bahkan statusnya tak tersentuhkan. Dalam pada itu jutaan warga yang menjadi korban, hidup dalam penantian dan larat kesengsaraan.
Dan bola terus melayang dengan riwayat yang semakin eksentrik, sampai pada kemungkinan yang paling tidak mungkin, sebagaimana tergambarkan dalam awal tulisan ini. Seorang pegolf dan cady girl bahkan sampai pada kemungkinan “tahu sama tahu”, tentang bola yang melayang.
Mungkin giliran berikut jatuh di lembaga-lembaga korup, atau para koruptor yang dibiarkan karena dianggap sebagai aset mafia atau paling rendah jatah preman. Siapapun tahu jutaan koruptor masih melenggang bebas, terutama koruptor kakap di era orde baru. Dan belasan kasus korupsi yang ditangani KPK tak terselesaikan, mengesankan kedok slogan pemberantasan korupsi. Satu pertanyaan terakhir, benarkah itu semua hanya demi stick panjang atau pendek?