BELIMBINGWENING.COM – Tarekat Qadiriyah Wa al-Naqsabandiyah didirikan oleh seorang tokoh ulama asal Indonesia, Ahmad Khatib ibn Abd Al-Ghaffar Sambas, yang bermukim di Makkah pada pertengahan abad kesembilan belas.
Karena pendirinya muncul dari daerah yang sebelum dan sesudahnya tidak pernah melahirkan seorang pendiri tarekat, dapat dikatakan bahwa tarekat ini merupakan satu-satunya tarekat yang didirikan oleh orang Indonesia. Kemudian pendirinya dikenal dengan nama Ahmad Khatib Sambas.
Syekh Ahmad Khatib Sambas dinisbahkan tempat lahirnya yakni dari Sambas, Kalimantan Barat dan tinggal lama di Makkah sampai wafat di sana pada tahun 1875. Di kota suci inilah, ia belajar berbagai ilmu agama Islam sehingga menjadi seorang ulama besar yang mengajar di Masjid al-Haram.
Pada saat itu sangat jarang ulama Indonesia yang memperoleh kesempatan terhormat seperti itu. la mempunyai banyak murid, terutama para jamaah haji dari Indonesia.
Sebagai guru tarekat, Syekh Ahmad Khatib Sambas pun mengangkat khalifah. Seorang murid yang telah mencapai taraf tertentu, menurut ukuran normatif seorang syeikh, mendapat kewenangan untuk bertindak menjadi syeikh.
Di antara Khalifah Syekh Ahmad Khatib Sambas di Indonesia, ada tiga orang yang dipandang paling menonjol: Syekh ‘Abd al-Karim dari Banten, Syekh Ahmad Hasbullah ibn Muhammad dari Madura, dan Syekh Tolha dari Cirebon.
Ketiganya dianggap sebagai orang yang paling berjasa dalam penyebaran Tarekat Qadiriyah Wa al-Naqsabandiyah di Indonesia, terutama di Pulau Jawa dan Madura.
Perkembangan Tarekat Qadiriyah Wa al-Naqsabandiyah
Ketiga khalifah Sykeh Ahamd Khatib Sambas memili jasa perkembangan tarekat qodiriyah wa al-naqsabandiyah di Indonesia. Begitu juga jasa para khalifah dalam penyebaran tarekat adalah perkembangannya yang mencapai beberapa negara tetangga, terutama Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.
Berjuta-juta pengikutnya tersebar di seluruh pelosok Indonesia dan beberapa negara ASEAN lainnya. Proses penyebarannya yang khas, sebagai gerakan spiritual, telah membentuk pola ideologis para pengikut Jamaah tarekat Qodiriyah wa al-Naqsabandiyah dalam warna tersendiri.
Tarekat Qodiriyah wa al-Naqsabandiyah menjadi salah satu aliran tarekat yang sangat terkenal, di Indonesia. la dianggap tarekat terbesar dan terpopuler, terutama di Pulau Jawa. Tarekat ini memang tidak dikenal di dunia Islam, selain di Indonesia.
Di negeri-negeri Islam lainnya, hanya dikenal adanya tarekat Qodiriyah dan tarekat Naqsabandiyah di samping ratusan tarekat lainnya.
Secara historis, usaha penyebaran tarekat Qodiriyah wa al-Naqsabandiyah di Indonesia diperkirakan sejak paruh kedua abad ke-19, yaitu sejak kembalinya murid-murid Syeikh Ahmad Khatib al-Sambasi ke tanah air, setelah bermukim (tinggal) selama bertahun-tahun di Mekah.
Di Kalimantan, misalnya, tarekat Qodiriyah wa al-Naqsabandiyah disebarkan oleh dua orang ulama, Syeikh Nuruddin dan Syekh Muhammad Sa’ad. Karena penyebarannya tidak melalui lembaga pendidikan formal (seperti pesantren atau lembaga-lembaga formal lainnya), sebagian besar pengikutnya datang dari kalangan tertentu.
Berbeda dengan Kalimantan, tarekat Qodiriyah wa al-Naqsabandiyah di Jawa disebarkan melalui pondok-pondok pesantren yang didirikan dan dipimpin langsung oleh ulama tarekat Qodiriyah wa al-Naqsabandiyah. Oleh karena itu, kemajuannya sangat pesat dan hingga kini merupakan tarekat yang paling besar dan paling berpengaruh di Indonesia.
Lima pondok pesantren yang menjadi pusat penyebaran tarekat Qodiriyah wa al-Naqsabandiyah, yaitu Pondok Pesantren Mranggen di Demak, Pondok Pesantren Rejoso di Jombang, Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang, Pesantren Pagentongan di Bogor, dan Pondok Pesantren Suryalaya di Tasikmalaya.
Silsilah Tarekat Qadiriyah Wa al-Naqsabandiyah
Silsilah Tarekat Qodiriyah wa al-Naqsabandiyah diakui pendirinya sebagai hasil penggabungan dari dua tarekat yang berlainan dalam cara berzikirnya, yaitu Qodiriyah wa al-Naqsabandiyah.
Banyak ajaran utamanya yang tersusun dan terumuskan dari unsur-unsur pilihan ajaran tarekat Qodiriyah dan ajaran Tarekat Naqsabandiyah, yang dipadukan secara apik hingga menjadi suatu formulasi tarekat yang baru.
Akan tetapi, kalau diamati secara lebih cermat, diperoleh indikasi banyak amalan yang sama sekali tidak bisa ditelusuri dan ditemukan pada kedua aliran tersebut. Oleh karena itu, boleh dikatakan, tarekat ini merupakan tarekat yang berdiri sendiri.
Tarekat qodiriyah diambil dari nama pendirinya Abdul Qodir al-Jailani, yang wafat tahun 1166 M, sedangkan tarekat Naqsabandiyah diambil dari Baha al-Din Naqsabandi, yang wafat tahn 1389 M.
Diakui sebagian ulama bahwa tarekat qodiriyah berasal dari ajaran-ajaran khusus yang diberikan Nabi Muhammad SAW kepada Ali, sahabat dan menantu Nabi yang mempunyai kepribadian keras dan tegas. Adapun Naqsabandiyah berasal dari ajaran-ajaran yang disampaikan Nabi kepada Abu Bakar, sahabat dan mertua Nabi yang mempunyai pembawaan halus, kalem, dan sabar.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah telah mengajarkan teknik-teknik mistik kepada para sahabat sesuai dengan pembawaan mereka, dari hal ini dipercayai sebagai alasan utama adanya perbedaan di antara tarekat-tarekat yang ada.
Ajaran Tarekat Qadiriyah Wa al-Naqsabandiyah
Tarekat secara umum mempunyai lima pokok ajaran, yaitu: pertama, mempelajari ilmu pengetahuan yang bersangkut paut dengan pelaksanaan semua perintah. Kedua, mendampingi guru-guru dan teman setarekat untuk melihat bagaimana cara melakukan suatu ibadah.
Ketiga, meninggalkan segala rukhsah dan ta’wil untuk menjaga dan memelihara kesempurnaan amal. Keempat, menjaga dan mempergunakan waktu serta mengisikannya dengan segala wirid dan doa guna mempertebal khusyu’ dan hudur. Kelima, mengekang diri jangan sampai keluar melakukan hawa nafsu dan supaya diri terjaga dari kesalahan.
1. Zikir tarekat qodiriyah
Tarekat Qodiriyah mempunyai ajaran pokok seperti menjunjung tinggi cita-cita, menjaga dari segala yang haram, memperbaiki khidmat terhadap Tuhan. Serta melaksanakan tujuan baik, dan memperbesar arti karunia nikmat dari Tuhan.
Di samping itu tarekat ini juga mengajarkan kepada pengikutnya untuk membaca kitab manaqib yang isinya adalah sebagian besar mengenai riwayat hidup Syekh Abdul Qodir al-Jailani. Tetapi yang terutama ditonjolkan adalah budi pekerti yang baik, kesalahannya, kezuhudannya, dan keramat atau keanehan-keanehan yang didapati orang pada dirinya.
2. Zikir Tarekat Naqsabandiyah
Sedangkan tarekat Naqsabandiyah terdapat dua ajaran pokok, pertama mengenai dasar tarekat, ialah memegang teguh kepada i’tiqad Ahlus Sunah, meninggalkan keentengan, membiasakan kesungguhan, senantiasa kala muraqabah, meninggalkan kebimbangan dunia dari selain Allah, hudur terhadap Allah, mengisi diri (tahalli) dengan segala sifat-sifat yang berfaedah dan ilmu agama, mengikhlaskan zikir, menghindarkan kealpaan terhadap Tuhan, dan berakhlak nabi Muhammad.
Kedua, mengenai syarat-syaratnya yaitu, i’tiqad yang sah, taubat yang benar, menunaikan hak orang lain, memperbaiki kezaliman, mengalah dalam perselisihan, teliti terhadap azab dan sunah, memilih amal menurut syariat yang sah, menjauhkan diri daripada segala yang munkar dan bid’ah, pengaruh hawa nafsu dan dari perbuatan yang tercela.
3. Zikir Tarekat Qodiriyah dan Tarekat Naqsabandiyah
Pada tarekat Qodiriyah, zikir disuarakan keras dan ekstatis, sedangkan pada Naqsabandiyah cukup diucapkan dalam hati. Walaupun pengikut tarekat Qodiriyah wa al-Naqsabandiyah mengaku mengamalkan kedua macam ritual dari kedua aliran itu secara umum, ritual qodiriyah tampak lebih dominan.
Zikir berjamaah yang biasanya dilakukan ba’da shalat Shubuh atau ba’da shalat Maghrib, diucapkan dengan keras yang berakar pada tradisi zikir pengikut tarekat qodiriyah. Demikian pula halnya ketika membaca kalimah tauhid sebanyak 165 kali, cara membacanya dikeraskan. Mereka tetap dalam posisi duduk, tetapi pembacaannya disertai dengan gerak kepala (dengan sentakan).
Mula-mula, dengan penuh kesadaran, zikir dilakukan dengan cara menarik kata “la” dari pusar ke ubun-ubun kepala, dengan isyarat tarikan kepala ke kanan. Lalu dilanjutkan dengan menarik kalimat “ilaha” ke bahu kanan, dan akhirnya dengan menggerakkan kepala ke kiri sambil menarik kalimat “illa Allah” disertai dengan hentakan yang seolah-olah ditusukkan ke jantung di dada kiri bawah.
Mula-mula, dalam beberapa kali pengucapannya, zikir sengaja dilakukan dalam gerakan lambat dan mengalun. Kemudian secara perlahan-lahan iramanya bergerak semakin cepat sehingga menjadi lebih menghentak-hentak hingga kalimat yang diucapkan menjadi makin sulit dicerna.
Gerakan zikir itu berhenti ketika intensitasnya sedang berada di puncak. Sebagai gerakan penutup atau semacam gerakan pendinginan, kalimah tauhid diulangi sekali atau dua kali lagi secara perlahan-lahan dengan irama mengalun.
Zikir keras yang dilakukan secara berjamaah ini seolah-olah mampu memberikan kekuatan spiritual bagi para pelakunya. Satu sama lain saling berinteraksi secara fisik sebab dilakukan dalam keadaan duduk rapat bersama.
Di sini pula terlihat proses pembentukan kelompok kohesif dalam ikatan semangat primordial keagamaan. Zikir yang diawali oleh shalat berjamaah ini berlangsung dalam kesadaran religiusitas yang mendalam.
Bahkan, pada gilirannya, kesadaran tersebut dapat memberikan implikasi sosiologis, terutama ketika kesadaran kelompok semakin kuat terbentuk. Keadaan ini kemudian dikukuhkan oleh simbol-simbol verbal, seperti dalam penyebutan sesama jamaah, yaitu ikhwan.