Amal jariyah adalah amalan yang pahalanya tidak terputus. Bersandar pada amal kitab Al-Hikam karya Syekh Ibnu Atha’illah As-Sakandari: hakikat syariat melarang kita menyandarkan diri pada amal dan usaha itu
BELIMBINGWENING.COM – Amal saleh adalah perwujudan dari laku hidup yang menjadi kehendak hati baik dengan ucapan, ucapan maupun tindakan. Pengertian amal saleh sebagai menifestasi ajaran agama yang mengajarkan betapa pentingnya nilai-nilai akhlak yang mulia. Sebagaimana Rasulullah Saw diutus ke dunia untuk menyempurnakan akhlak.
Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ صَالِحَ اْلأَخْلاَقِ.
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR. Bukhari).
Selain amal saleh, ada sebutkan lagi yakni amal jariyah. Arti amal jariyah adalah suatu amalan, tindakan atau perbuatan yang pahalanya tidak terputus atau pahalanya senantiasa mengalir terus.
Adapun contoh amal jariyah yakni berwakaf (mendirikan rumah sakit, masjid, tempat pendidikan). Selain itu yakni sedekah harta, dan perihal lingkungan hidup yakni menanam pohon.
Tentunya amal saleh atau amal jariyah dikerjakan sebagai amalan semata-mata mengharap rahmat dan ridha Allah Swt. Rasulullah Saw bersabda:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang saleh.” (HR. Muslim)
Berikut ini akan dibahas persoalan “Bersandar Pada Amal” dalam Kitab Al-Hikam karya Syekh Ibnu Atha’illah As-Sakandari. Maqolah pasal 1 dan syarah tentang Bersandar Pada Amal.
Al-Hikam Pasal 1:
Bersandar Pada Amal
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
مِنْ علاماتِ الا ِعْتِمادِ عَلىَ العَملِ نـُقـَصَانُ الرَّجاءِعِنْدَ وُجُوْدِ الزَّلل ِ
“Sebagian dari tanda bahwa seorang itu bergantung pada kekuatan amal dan usahanya, yaitu berkurangnya pengharapan atas rahmat dan karunia Allah ketika terjadi padanya suatu kesalahan dan dosa.”
Orang yang melakukan amal ibadah itu pasti punya pengharapan kepada Allah, meminta kepada Allah supaya hasil pengharapannya, akan tetapi jangan sampai orang beramal itu bergantung pada amalnya, karena hakikatnya yang menggerakkan amal ibadah itu Allah.
Sehingga apabila terjadi kesalahan, seperti, terlanjur melakukan maksiat, atau meninggalkan ibadah rutinnya, ia merasa putus asa dan berkurang pengharapannya kepada Allah. Apabila berkurang pengharapan kepada rahmat Allah Swt, maka amalnya pun akan berkurang dan akhirnya berhenti beramal.
Seharusnya dalam beramal itu semua dikehendaki dan dijalankan oleh Allah. Sedangkan diri kita hanya sebagai media berlakunya Qudrat Allah Swt.
Kalimat: Laa ilaha illAllah. Tidak ada Tuhan, berarti tidak ada tempat bersandar, berlindung, berharap kecuali Allah, tidak ada yang menghidupkan dan mematikan, tidak ada yang memberi dan menolak melainkan Allah.
Bersandar pada amal dan usaha dicontohkan di dalam Qur’an sebagaimana kisah Qa’run. Allah Swt berfirman:
قَالَ إِنَّمَآ أُوتِيتُهُۥ عَلَىٰ عِلْمٍ عِندِىٓ ۚ أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ ٱللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِن قَبْلِهِۦ مِنَ ٱلْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا ۚ وَلَا يُسْـَٔلُ عَن ذُنُوبِهِمُ ٱلْمُجْرِمُونَ
“Karun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.” (QS. Al-Qashash: 78).
Namun selayaknya meneladani Nabi Sulaiman menerima begitu banyaknya nikmat, seperti kisah Nabi Sulaiman dengan ratu Bilqis. Allah Swt berfirman:
قَالَ ٱلَّذِى عِندَهُۥ عِلْمٌ مِّنَ ٱلْكِتَٰبِ أَنَا۠ ءَاتِيكَ بِهِۦ قَبْلَ أَن يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ ۚ فَلَمَّا رَءَاهُ مُسْتَقِرًّا عِندَهُۥ قَالَ هَٰذَا مِن فَضْلِ رَبِّى لِيَبْلُوَنِىٓ ءَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ ۖ وَمَن شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِۦ ۖ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّى غَنِىٌّ كَرِيمٌ
“Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”. (QS. An-Naml: 40)
Pada dasarnya syari’at menyuruh kita berusaha dan beramal. Sedang hakikat syariat melarang kita menyandarkan diri pada amal dan usaha itu, supaya tetap bersandar pada karunia dan rahmat Allah Swt. Tetaplah berusaha dan beramal dan itu semata-mata karunia Allah Swt.
Allah Swt berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَٰلِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Naml: 97)
Apabila kita dilarang menyekutukan Allah Swt dengan berhala, batu, kayu, pohon, kuburan, binatang dan manusia. Maka janganlah menyekutukan Allah dengan kekuatan diri sendiri, seakan-akan merasa sudah cukup kuat dapat berdiri sendiri tanpa pertolongan Allah, tanpa rahmat, taufik, hidayat dan karunia Allah Swt.