“Mudik? Pemborosan!” kata Kluprut.
“Coba hitung, berapa rupiah terbuang dari jutaan pemudik untuk berbagai keperluan konsumtif yang kontraproduktif?
Hitung energi sosial yang terbuang nyaris percuma untuk menggapai kegembiraan semu: berlagak sukses di mata saudara dan kerabat sedesa. Hitung pula uang dan energi yang harus dikeluarkan negara untuk membiayai ritual tahunan itu: penyediaan prasarana dan sarana transportasi darat, laut, dan udara, serta segala tetek bengek administrasi dan manajemen keamanan. Sungguh tak seimbang.”
Saya rasa gerundelan Kluprut benar. Mudik adalah pemborosan, mudik kontraproduktif. Apalagi dalam skala masif sebagaimana setiap tahun terjadi di negeri ini.
Namun serentak dengan itu muncul kecurigaan dalam hati: jangan-jangan pernyataan itu merupakan sinisme berlebihan? Manifestasi “keterasingan” teramat personal?
Ya, bukankah berbelas tahun sudah saya tak pernah merasakan apa sesungguhnya yang dirasakan orang, berjuta-juta orang, saat mudik menjelang lebaran? Berbelas tahun sudah saya menyia-nyiakan kesempatan merasakan lebaran sebenar-benar lebaran?
Ya, bagaimana mungkin tak berpuasa saat Ramadan tetapi berkehendak merayakan kemenangan, merayakan lebaran? Ora pasa, nanging pengin melu bakda?
Dulu, dulu sekali, ketika masa kanak-kanak menjadi bagian dari sebagian kemanisan hidup yang bisa saya kenang, Ramadan sungguh masa menyenangkan. Ya, sebulan penuh berbagai keistimewaan senantiasa saya rasakan, saya alami, dan bisa saya lakukan.
Betapa tidak? Selama sebulan, sekolah libur. Tak ada kewajiban belajar, tak ada kewajiban mengerjakan PR yang membosankan. Setiap malam saya bisa tidur dan bersenda gurau bersama banyak teman di surau. Menjelang sahur berkeliling kampung bermain thethek, membangunkan orang. Kemudian pulang sebentar untuk makan sahur dan kembali ke surau untuk shalat subuh berjamaah. Setiap berbuka puasa pun selalu tersedia bermacam penganan lezat. Ya, takjil, ya jaburan.
Kegembiraan kian lengkap, karena setiap hari saya dan kawan-kawan bisa memburuh membuat dan menjual mercon mendekati lebaran. Memperoleh uang hasil keringat sendiri, betapa nikmat, betapa membanggakan!
Dan lebaran? Lebaran adalah saat puncak kenikmatan: baju baru, ketupat dan opor ayam, dan uang saku lebih dari mencukupi untuk berkali-kali menonton pasar malam. Lebaran juga kesempatan untuk membusungkan dada di depan kawan-kawan. Karena, Anda tahu, di pekarangan Nenek yang luas berjejer mobil berbagai merek, jip dan sedan, berpelat nomor Jakarta. Ya, seluruh keluarga, seluruh pakde, om, paklik, bulik datang dan berkumpul memboyong simbol kesuksesan mereka.
Itulah kenangan manis dari masa kanak-kanak yang tersisa. Kini, berbelas tahun sudah masa itu lewat. Kini kemanisan itu terasa sebagai gambaran karikatural yang menggelikan. Kemanisan tanpa “kesadaran religiositas”: lebaran tanpa kefitrian, lebaran tanpa kesucian.
Saya malu. Berbelas tahun sudah saya ingin merasakan kemanisan berlebaran, seperti saat kanak-kanak, plus “cekaman” rasa haru. Ingin saya rasakan kembali rasa itu: segenap kotoran jiwa luruh, terbasuh. Namun entah kenapa, entah ke mana, rasa itu menghilang. Berbelas tahun sudah lebaran terasa sepi, terasa sepa. Duh!
Betapa bebal, betapa banal memaknai mudik sekadar kewajiban agar tidak dinilai antisosial. Itulah kini yang saya rasakan. Dan, itulah buah dari kesombongan. Karena, sungguh, selama ini saya mengukuhi keyakinan: pasa ora pasa, sing wigati ora dora. “Wose pasa mono kudu dilakoni kanthi laku: orang colong jumput, ora goroh, ora nerak pager ayu. Kuwi kabeh kudu dilakoni salawase urip,” ujar Sakdiyah, sang lelaki pengkuh, yang masih terngiang di gendang telinga saya bertahun-tahun, sampai kini.
Saya merasa telah berhasil melakoni semua “kewajiban” itu. Dan, diam-diam, saya senantiasa membanggakan diri sendiri, meski cuma dalam hati, telah pasa sajroning urip.
Lalu, saya pun merasa berhak beroleh ganjaran, beroleh pahala: bisa berlebaran setiap hari, sepanjang hidup. Masya Allah! Ketika rasa berlebaran itu tidak saya alami, tidak saya peroleh, saya kecewa. Apalagi saya pun merasa bahwa ganjaran yang dijanjikan tak kunjung tiba. Berbelas tahun pula!
Ternyata pamrih saya lebih besar ketimbang puasa saya, sekaligus menjadi motif dasar berbuat sesuatu. Tak ada keikhlasan, tak ada keweningan. Korup!
Ya, ya, bagaimana mungkin saya bisa merasakan kenikmatan, mudik, pulang barang sejenak, kembali ke asal, kembali ke kesucian? Bukankah saya tak pernah pergi, beranjak dari keterkungkungan riya, sombong, ketidakikhlasan? Bukankah saya senantiasa bergeming, memerangkap diri dalam cangkang kebodohan-merasa-pintar dan cangkang ketidakikhlasan berbau riya?
“Dan baru kini kau menyadarinya, setelah nyaris terlambat?” tetak Kluprut. “Kaulah itu sebutir debu, zarah tak berarti dalam rengkuhan kemahaperkasaan Sang Mahabesar, yang ingin menjadi setitik cahaya bagi semesta? Kau pun senantiasa memboyakkan dari mana berasal, dari apa bermuasal. Inna lillahi wa inna’ilaihi rajiun.”
Ya, ya, karena itulah selama ini saya cuma mampu menghayati mudik sebagai mobilitas keruangan. Bukan mobilitas keberagamaan. Mudik, bagi saya, ternyata tak bersangkut paut dengan keimanan, dengan ketakwaan. Ya, mudik tidak saya hayati sebagai momen spiritual untuk menakar asal-muasal kemakhlukan saya di hadapan Tuhan.
Boleh jadi lantaran itulah begitu sulit bagi saya mengucap minal’aidin wal-faizin, semoga Anda termasuk golongan orang-orang yang kembali ke fitrah dan memperoleh kemenangan. Nauzubillah!
Minggu, 31 Oktober 2004
Termuat dalam buku “edan-edanan pada zaman edan” (2008) dan Koran Suara Merdeka