Karya sastra adalah semua hasil karya tulis yang bernilai estetika tinggi, merupakan bentuk perpaduan antara unsur bahasa dan unsur kesenian
BELIMBINGWENING.COM – Kebudayaan, menurut Koentjaraningrat terdiri atas tiga wujud: terdalam berbentuk ide/gagasan, wujud agak luar berbentuk aktivitas, wujud paling luar berupa artefak (benda-benda). Karya sastra merupakan wujud terdalam dari salah satu unsur kebudayaan yang bernama bahasa. Kebudayaan yang tinggi terlihat dari karya-karyanya di bidang estetika (kesenian) yang tinggi.
Karya sastra secara umum mencakup semua hasil karya tulis. Secara terbatas, karya sastra adalah semua hasil karya tulis yang bernilai estetika tinggi, merupakan bentuk perpaduan antara unsur bahasa dan unsur kesenian. Karya sastra adalah cara ungkap dalam bentuk simbol-simbol. Makin banyak simbol makin halus sifat suatu bahasa.
Dari situlah lahir adab dan peradaban. Peradaban dapat diartikan sebagai bagian halus dari kebudayaan. Masyarakat kota disebut sebagai orang-orang yang beradab karena mereka hidup berdasarkan standar moral tertentu, standar moral yang lebih tinggi atau lebih kompleks.
Itulah sebabnya mereka yang terkesan kurang beradab sering pula disebut sebagai “orang desa” atau “orang kampung” sekalipun belum tentu orang kota itu lebih beradab dari orang desa, bahkan sebaliknya, orang kota sering juga dipandang sebagai kurang beradab oleh orang desa.
Pramoedya Ananta Toer dalam karyanya yang berjudul “Jalan Raya Pos Jalan Daendels” menceritakan bahwa pada tahun 1625 Surabaya adalah kota peradaban paling maju dari seluruh kota di Nusantara yang hancur oleh serangan raja pedalaman, yaitu Mataram yang hanya kenal kekuasaan. Namun demikian masih ada sepercik manfaat.
Surabaya akhirnya takhluk melalui diplomasi. Putera terpenting Adipati Surabaya bernama Pangeran Pekik disandera ke Mataram. Dialah yang membawa sastra dan tangga nada pelog ke pedalaman Jawa Tengah tersebut. Selanjutnya Pangeran Pekik beserta keluarga yang telah menjadi pemberadab Mataram dibantai kerena alasan-alasan sepele.
Perkembangan kesenian pada awalnya berasal dari keraton karena lingkungan keraton yang pertama bersentuhan dengan sastra dan tangga nada. Ketika dunia seni berada pada lingkungan elit keraton, ia syarat dengan sopan santun tingkat tinggi, sangat memperhatikan kehalusan dan keselarasan.
Berikutnya ketika kesenian yang elitis itu meluas menjadi hak umum masyarakat kelas bawah, ia mengalami pergeseran sesuai karakter masyarakat. Terasa berkurang kehalusan dan keselarasannya. Bahkan terkadang brutal, arogan, seperti terlihat pada fenomena dangdut/campusari yang dikoplo.
Benturan Antar Kebiadaban
Pada tahun 1999 Samuel P. Huntington mengeluarkan Clash of Civillization. Dalam tesis ramalan yang diterjemahkan “Benturan Antar Peradaban” itu Huntington menyebutkan ada enam peradaban dunia yang berpotensi / rentan akan terjadi perbenturan dalam sejarah, antara lain: peradaban Islam (Timur Tengah), Hindu (India), Kristen, Konfusian (Cina), Shinto (Jepang), dan peradaban modern (Barat).
Tidak lama pada tahun 2001 terjadi pengeboman menara WTC di Pentagon. Kontroversi panjang terjadi menanggapi tesis Huntington tersebut, antara propaganda dan rencana barat menyudutkan dunia Islam, dan yang membenarkannya dengan mengangkat isu radikalisme beragama.
Terlepas dari kontroversi tesis Huntington, jika ditilik kembali dari hakikatnya, peradaban merupakan sesuatu yang halus, bernilai moral tinggi, maka dari dunia manapun peradaban adalah berisi sistem nilai yang sama-sama luhur. Sesama nilai luhur ironis terjadi perbenturan. Kalaupun terjadi persaingan antara peradaban yang berbeda tetapi sama-sama luhur dan benar, yang terjadi bukanlah perbenturan (clash), melainkan saling akulturasi. Yang merasa lebih inferior akan menyerap yang unggul.
Sebenarnya suatu clash adalah suatu penyimpangan dalam perkembangan peradaban. Perkembangan yang normal dalam suatu peradaban adalah saling mengenal dan saling menghargai. Clash justru terjadinya adalah antar ketidakberadaban, dengan istilah lain perbenturan terjadi antar kebiadaban.
Tidak Ada Peradaban Paripurna
Berakhirnya perang dingin yang ditandai dengan runtuhnya kesatuan Unisoviet yang mewakili kekuatan Negara-negara sosialis / Blok Timur seolah menunjukkan kekuatan Blok Barat yang beridiologi liberal kapitalis sebagai peradaban yang unggul dan akan berlangsung tanpa akhir.
Fakta berakhirnya Unisoviet tersebut dijadikan dasar pijakan oleh Francis Fukuyama ketika menulis The End of History, karya yang memberikan pembenaran atas kemenangan kapitalisme dan demokrasi.
Dengan berakhirnya Unisoviet, kapitalisme dengan demokrasi sebagai perangkatnya seolah tanpa tandingan, terlebih negara-negara Barat yang menganut demokrasi terus menunjukkan keunggulannya dalam percaturan, demokrasi menjadi tidak terelakkan bagi masyarakat dunia. Demokrasi menjadi mainstream.
Pembenaran yang disampai Fukuyama terlihat sebagai kebenaran. Namun jika kita melihat kenyataan sejarah peradaban umat manusia bahwa bangsa-bangsa dengan kejayaan peradaban selama ribuan tahun sekalipun pada akhirnya mengalami kemunduran seperti terlihat pada Yunani kuno dan Mesir.
Maka masih relevan membicarakan teori dari Oswald Spengler yang menyebutkan bahwa setiap masyarakat berkembang melalui empat tahap perkembangan, seperti pertumbuhan manusia, yaitu masa kanak-kanak, remaja, dewasa, dan tua. Jika kejayaan kapitalisme dan demokrasi sekarang ini sudah tiba pada puncaknya menurut teori tersebut ia sudah tua dan diambang keruntuhannya.
Jika dianalis dari kemungkinan lain berdasarkan fenomena yang berkembang sekarang, kemunduran peradaban barat tidak harus diukur melalui keruntuhannya, tapi dapat diukur dari dinamikanya yang terkejar oleh percepatan perkembangan masyarakat lain, misalnya Cina, dan India. Akan terjadi susul menyusul meski dalam rentang ratusan atau ribuan tahun. Proses tersebut berjalan secara evolusioner. Tidak terlihat dalam rentang waktu yang pendek.