Uzlah artinya mengasingkan diri untuk memusatkan perhatian hanya kepada Allah Swt untuk senantiasa beribadah dengan cara bertafakur dan berzikir
BELIMBINGWENING.COM – Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) uzlah artinya pengasingan diri untuk memusatkan perhatian pada ibadah yakni zikir dan tafakur. Sedangkan menurut bahasa arab, arti uzlah berasal dari kata ta’azzala ‘an al-syai’ artinya menghindar atau meninggalkan dari sesuatu.
Adapun arti beruzlah adalah mengasingkan diri, di dalam kitab suci Al-Qur’an menjelaskan tentang uzlah yang sifatnya tersirat dari isyarat. Sebagaimana Allah Swt berfirman dalam surah Al-Kahfi ayat 16:
وَإِذِ ٱعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ إِلَّا ٱللَّهَ فَأْوُۥٓا۟ إِلَى ٱلْكَهْفِ يَنشُرْ لَكُمْ رَبُّكُم مِّن رَّحْمَتِهِۦ وَيُهَيِّئْ لَكُم مِّنْ أَمْرِكُم مِّرْفَقًا
“Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu.” (QS. Al-Kahfi: 16).
Berikut ini akan dijelaskan makna uzlah menurut kitab Al-Hikam karya Syekh Ibnu Atha’illah As-Sakandari.
Al-Hikam Pasal 12:
Uzlah
مانفعَ القَلبَ شَيءٌ مثلُ عُزْلةٍ يَدْخُلُ بها ميدان فِكرةٍ
“Tidak ada sesuatu yang sangat berguna bagi hati (jiwa), sebagaimana menyendiri untuk masuk ke medan berpikir (tafakur)”
Seorang murid atau pesalik kalau benar-benar ingin wushul (capaian spurutual) kepada Allah, pastilah ia berusaha bagaimana supaya hatinya tidak lupa pada Allah. Hal ini bisa selalu mendekatkan diri kepada Allah.
Dalam usaha ini tidak ada yang lebih bermanfaat kecuali uzlah (menyendiri dari pergaulan umum), dan dalam kondisi uzlah murid mau Tafakkur (berfikir tentang makhluknya Allah, kekuasaan Allah, keagungan Allah, keadilan Allah dan belas kasih nya Allah) yang bisa menjadikan hati timbul rasa takdhim kepada Allah. Menambah keyaqinan dan ketaqwaan kepada Allah.
Adapun bahayanya murid yang tidak uzlah itu banyak sekali:
Sebagaimana dari Abu Musa Al-Asy’ari raRasulullah Saw bersabda:
عن أبي موسى الأشعري -رضي الله عنه- مرفوعًا: «إنما مَثَلُ الجَلِيسِ الصالحِ وجَلِيسِ السُّوءِ، كَحَامِلِ المِسْكِ، ونَافِخِ الكِيرِ، فَحَامِلُ المِسْكِ: إما أنْ يُحْذِيَكَ، وإما أنْ تَبْتَاعَ منه، وإما أن تجد منه رِيحًا طيبةً، ونَافِخُ الكِيرِ: إما أن يحرق ثيابك، وإما أن تجد منه رِيحًا مُنْتِنَةً».
[صحيح.] – [متفق عليه.]
“Sesungguhnya perumpamaan orang yang bergaul dengan orang saleh dan orang jahat, bagaikan orang yang berteman dengan penjual minyak wangi dan pandai besi. Adapun penjual minyak wangi, bisa jadi memberi minyak kepadamu atau kamu membeli minyak darinya, atau paling tidak kamu mendapatkan aroma wangi darinya. Sedangkan pandai besi, mungkin ia akan membakar pakaianmu atau kamu akan mendapatkan aroma tidak sedap darinya.” (Muttafaq ‘alaih).
Rasulullah Saw menganjurkan umatnya untuk memilih sahabat sejati, sebagaimana layaknya contoh hadis di atas.
Allah Swt mewahyukan kepada Nabi Musa as: “Wahai putra Imran! Waspadalah selalu dan pilihlah untuk dirimu seorang sahabat (teman), dan sahabatmu yang tidak membantumu untuk membuat taat kepada-Ku, maka ia adalah musuhmu.”
Dan juga Allah mewahyukan kepada Nabi Dawud as: “Wahai Dawud! Mengapakah engkau menyendiri? Jawab Dawud: Aku menjauhkan diri dari makhluk untuk mendekat kepada-Mu. Maka Allah berfirman: Wahai Dawud! Waspadalah selalu, dan pilihlah untukmu sahabat, dan tiap sahabat yang tidak membantu untuk taat kepada-Ku, maka itu adalah musuhmu, dan akan menyebabkan membeku hatimu serta jauh dari-Ku.”
Nabi Isa as bersabda: “Jangan berteman dengan orang-orang yang mati, niscaya hatimu akan mati. Ketika ditanya: Siapakah orang-orang yang mati itu? Nabi Isa memjawab: Mereka yang rakus kepada dunia.”
Rasulullah Saw bersabda: “Yang paling aku khawatirkan pada umatku, ialah lemahnya iman dan keyakinan.”
Nabi Isa as bersabda: “Berbahagialah orang yang perkataanya zikir, diamnya tafakur dan pandangannya tertunduk. Sesungguhnya orang yang sempurna akal ialah yang selalu mengkoreksi dirinya, dan selalu menyiapkan bekal untuk menghadapi hari setelah mati.”
Sahl at-Tustary ra berkata: “Kebaikan itu terhimpun dalam empat macam, dan dengan itu tercapai derajat wali (di samping melakukan semua kewajiban-kewajiban agama), yaitu: 1. Lapar. 2. Diam. 3. Menyendiri 4. Bangun tengah malam (sholat tahajud).”